Related Articles



BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal autoimun. Pengobatan utama pada sindroma nefrotik adalah kortikosrteroid. Berdasarkan respons pengobatan steroid, sindrom nefrotik idiopatik dibagi menjadi sindrom nefrotik responsif steroid dan sindrom nefrotik resisten steroid. ISKDC menemukan sekitar 78,1% anak-anak yang didiagnosa sindroma nefrotik responsif terhadap terapi steroid.

The International Study Kidney Diseases in Children (ISKDC) menyatakan suatu sindroma nefrotik dikatakan resisten steroid bila telah mendapat terapi steroid dengan dosis yang adekuat selama 8 minggu tidak mencapai fase remisi. Kriteria remisi meliputi pengurangan udema, pengurangan proteinuria ≤ 4 mg/m2/jam atau albumin dipstick 0 dalam jangka waktu minimal 3 hari. Kriteria relaps jika proteinuria ≥ 40 mg/m2/jam atau albumin dipstick ≥ 2+.

Teori mekanisme resistensi steroid hingga saat ini belum diketahui, teori terbaru menurut studi terbaru Weber dan Ruf et al menunjukkan adanya beberapa mutasi pada gen NPHS1, NPHS2, ACTN4 yang bertanggung jawab terhadap kejadian resistensi steroid. Mutasi pada gen tersebut akan mengubah fungsi dan distribusi protein yang dikodenya sehingga terjadi perubahan struktur dan fungsi podosit.

Penelitian menunjukkan 10% pasien pediatrik dengan sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS) mempunyai resiko 40% berkembang menjadi CRI atau ESRD dalam waktu 5 tahun.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Terapi pada SNRS dibagi menjadi terapi suppotif dan terapi causatif. Terapi suportif sama seperti SSNS yaitu diet rendah garam, intake protein yang cukup, vitamin dan mengurangi makanan tinggi kolesterol, penggunaan diuretik, antihipertensi, antihiperlipidemia, dan antibiotik. Penelitian mengenai penggunaan berbagai regimen pengobatan untuk terapi kausatif masih sedikit sehingga terapi yang dilakukan klinisi kebanyakan berdasarkan pengalaman empiris.

Berikut ini akan dibahas beberapa terapi yang telah digunakan dalam pengobatan SNRS :
1. Siklofosfamid
Siklofosfamid merupakan obat yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam pengobatan SNRS di Indonesia. Dosis siklofosfamid yang dianjurkan 2-3 mg/kgBB/ hari dosis tunggal selama 3-6 bulan atau siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus satu kali selama 6 bulan.

Efektivitasnya siklofosfamid telah dibuktikan oleh berbagai penelitian ilmiah. Studi yang dilakukan Tufro-McReddie pada 19 pasien FSGS dengan SNRS yang diterapi dengan siklofosfamid 2 mg/kgBB/hari selama 20 minggu 42% mengalami remisi dalam 10 minggu pertama terapi. Follow up yang dilakukan selama 73 minggu kemudian menunjukkan 62% masih dalam tahap remisi dan 24% mengalami ESRD.

Penelitian Tufro-McReddie sejalan dengan penelitian yang dilakukan Bebsa pada 164 pasien SNRS yang diterapi dengan siklofosfamid 2mg/kgBB/ hari sampai 2,5 mg/kgBB/hari yang dikombinasikan dengan prednison 10 mg/hari selama 12 minggu 45,1% pasien mengalami remisi. Follouw up yang dilakukan selama 6 bulan didapatkan 58% masih dalam tahap remisi sedangkan 7% mengalami ESRD.

Studi yang dilakukan LeBonheur Children’s Medical Center menunjukkan SNRS yang relaps setelah pengobatan dengan siklofosfamid menjadi sensitif dengan pengobatan steroid. Hasil Studi di atas tidak sejalan dengan studi International Study Kidney Diseases in Child (ISKDC) melaporkan bahwa siklofosfamid tidak efektif pada pengobatan SNRS dengan histopatologi tipe FSGS hanya menghasilkan 27% remisi dan mempertinggi insiden ESRD pada 57% sampel.

2. Siklosporin
Keberhasilan terapi SNRS dengan siklosporin pertamakali dilaporkan oleh Ponticelli et al selama 6 bulan terapi siklosporin sejumlah kecil pasien SNRS 57% mengalami remisi. Penelitian yang dilakukan New York-NewJersey Pediatric Nephrology Study Group pada 12 pasien kelompok studi yang diberikan siklosporin 3 mg/kgBB/hari selama 6 bulan semua pasien mengalami remisi tetapi setelah penghentian terapai semua pasien mengalami peningkatan proteinuria. Penelitian Lieberman et al yang melibatkan 31 pasien SNRS setelah terapi dengan siklosporin selama 6 bulan didapatkan remisi pada 60% sampel tetapi follow up selama 12 bulan bulan didapatkan semua pasien relaps.

Siklosporin direkomendasikan oleh IDAI bila SNRS tidak berespon terhadap siklofosfamid. Dosis anjuran siklosporin adalah 5mg/kgBB/hari yang diikuti pematauan kadar darah yang dipertahankan 100-200μg/ml, pemantauan kreatinin berkala dan biopsi ginjal berkala tiap 2 tahun. Obat ini selain harganya mahal, perlu pemantauan kadar dalam darah selama terapi untuk mencegah efek sampingnya yaitu nefrotoksik. Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain, hipertensi, hiperplasia gingiva, dislipidemia.

3. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Indian Society of Children Nephrology dan IDAI merekomendasikan pemberian ACE inhibitor dosis rendah pada hampir semua kasus SNRS, ACE inhibitor dikontraindikasikan bila GFR < 30 ml/menit/1.73 m2 atau pada pasien yang intoleran. Dosis yang dianjurkan adalah kaptopril 0,3mg/kgBB/hari, enalapril 0,5 mg/kgBB.

Hampir semua studi mengenai efektifitas ACE inhibitor menunjukkan pengurangan proteinuria pada 50% responden. Penelitian yang dilakukan Arora menunjukkan hasil yang lebih dramatis dari 15 pasien SNRS yang diberikan enalapril 5 mg/kgBB/hari selama 12 minggu 13 pasien mengalami remisi, menormalkan kadar lemak darah dan menurunkan insiden ESRD. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah batuk kering, hiperkalemia, dan anemia

4. Mychophenolate mofetil (MMF).
Laporan mengenai efektivitas MMF dalam pengobatan SNRS antara lain pada penelitian yang dilakukkan Del Rio dan Kaskel tahun 2008 dari 18 pasien 48% diantaranya mengurangi proteinuria, dari 48% ini 2 pasien remisi sempurna 6 pasien remisi parsial. Penelitian Choi dkk pada 46 pasien SN dengan berbagai lesi histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan remisi parsial 37,8%. Penelitian Montane et al pada 9 orang pasien SNRS menemukan bahwa MMF dapat menurunkan kadar proteinuria. Tidak ada efek samping yang signifikan dilaporkan dalam penelitian ini.

Dosis yang direkomendasikan the MMF study group menganjurkan dosis MMF 15-30 mg/kgBB/ hari atau 600 mg/m2 terbagi 2 dosis. Barletta et al merekomendasikan dosis inisial 800 mg/m2 dan dinaikkan hingga 1200 mg/m2

5. Therapeutic Plasma Exchange (TPE)
TPE merupakan tekhnik purifikasi darah secara ekstrakorporal yang membuang molekul-molekul di dalam plasma yang berperan dalam patogenesa sindroma nefrotik.

Dalam penelitian terhadap Franke et al tahun 2000 terhadap 7 pasien SNRS dengan FSGS, 2 (28,6%) di ataranya mengalami remisi sempurna, 2 lagi (28,6%) mengalami remisi sebagian. Dalam penelitian Kanankearachchi et al (2006) disebutkan pada umumnya pasien yang menjalani TPE walaupun sudah mengalami remisi akan relaps dalam 3-10 hari setelah penghentian terapi. Selain itu disebutkan juga bahwa untuk SNRS tipe FSGS, prosedur TPE ini idak bermanfaat, TPE hanya bermanfaat pada stadium awal penyakit. Komplikasi yang terjadi antara lain hipolakemia, hipovolemik, reaksi anafilaktik, dan urtikaria.

6. Tacrolimus
Tacrolimus merupakan terapi SNRS yang terbaru dan banyak diteliti oleh para ahli. Efektivitasnya telah diuji antara lain penelitian Kevin (2001) terhadap 7 pasien SNRS menunjukkan semuanya mengalami penurunan proteinuria yang signifikan. Penelitian Gulati et al (2007) terhadap 22 pasien dengan dosis awal 0.10 mg/kg/hari dibagi 2 dosis lalau ditingkatkan menjadi 5-10 gr/hari selama 1 tahun, hasilnya 16 pasien (84%) mencapai remisi sempurna, 2 pasien (10,5%) remisi parsial 1 pasien tidak responsif, dan 3 pasien drop out karena efek samping yang dialami. Penelitian Loeffler (2004) pada 16 anak SNRS 81 % mencapai remisi sempurna dan 13 % remisi parsial, sedangkan yang lainnya tidak berespon. Penghentian terapi menyebabkan pasien akan kembali mengalami relaps.

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan tacrolimus biasanya berupa diare, hal ini teratasi jika dosisnya diturunkan. Efek lain yang pernah dilaporkan antara lain HUS (hemolitik uremik syndrome), pada pasien ini terapi tacrolimus dihentikan. Penelitian Gulati et al, 2 dari 22 anak mengalami hiperglikemia, 1 di antaranya dilakukan penghentian terapi, oleh sebab itu monitoring kadar gula darah perlu dilakukan. Selain itu 2 dari 22 anak mengalami hipertensi dan diterapi dengan obat antihipertensi.

7. Azathioprine
Azathioprine selama ini terbukti belum banyak berguna dalam mengobati SNRS. Data dari ISKDC, pengobatan azathioprine dengan kortikosteroid dibandingkan dengan pengobatan kostikosteroid saja pada 197 pasien, didapatkan 31 (15,7%) mengalami resistensi. Dimana 16 pasien mendapakan azathioprine dan 15 pasien merupakan plasebo. 4 (24%) pasien yang mendapatkan azathioprine mengalami penurunan kadar proteinuria.

8. Vincristine
Dalam penelitian yang sudah dilakukan, 2 dari 7 anak mencapai remisi dalam 8 minggu setelah pemberian vincristin 1,5 mg/m2/dosis setiap minggu dan prednison setiap hari, sedangkan 5 anak lainnya tidak berspon terhadap vincristin. Penelitian lainnya terhadap 8 orang anak, 2 di antaranya mencapai remisi setelah terapi tunggal dengan vincristin setiap minggu, sedangkan yang lainnya tidak berespon. Dari hal tersebut disimpulkan secara umum bahwa vincristin kurang efektif dalam terapi SNRS.

DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede. Nefrologi anak. Jakarta. IDAI. 2002 : 391-422.
2. Gunawan CA. Sindrom Nerotik Patogenesis dan Penatalaksanaan. Diakses
dari: http://www.kalbe.co.id//SindromNefrotikPatogenesis./html [diakes 22
April 2009].
3. Kevin D. McBryde, Kershaw DB, Smoyer WE .Pediatric Steroid-Resistant Nephrotic Syndrome. Spain. Mosby 2001 : 275-307.
4. Atignac: moleculer basis of SNRS.journal of nefrologia. 25 : 25-8, 2005. 5. KW Lee, R Mak. An Update Review of Therapeutic Regimens for Steroid Resistant Idiopathic Nephrotic Syndrome . HK J Paediatr 2000;5:70-75
6. Del Rio M dan Kaskel F. Evaluation and management of steroidunresponsive nephrotic syndrome. Current Opinion in Pediatrics 2008, 20:151–156.
7. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Konsensus: Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005.
8. Bagga A. Management of Steroid Resistant Nephrotic Syndrome. Indian Society of Pediatric Nephrology. Indian Journal Pediatric. 2009; 46:35-47.
9. Arora A, Ahlawat RS, Arora N, Mandala AK. Randomized Controlled Study of Enalapril in Sindroma nefrotik Resistent Steroid. Indian Society of Pediatric Nephrology. 2002; 12: 107-12.
10. Pardede SO. Mikofenolat Mofetil Sebagai Terapi SNRS Anak. Journal Kedokteran Indonesia 2004; 54:431-435.
11. Kanankearachchi et al. Plasmapharesis In Steroid Resistant Nephrotic Syndrome. Sri Lanka Journal of Child Health 2007 : 116-117
12. Sulowiz W, Stompor T. Application Of LDL-apharesis And Immunoadsorption In Kidney Disease. Jagiellonian University, Polandia 2004 : 128-129
13. Gulati et al. Steroid Resistant Nephrotic Syndrome: Role of Histopathology. Indian journal. 43. 55-60:2006.

0 comments