Related Articles



PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang merupakan salah satu penyebab umum nyeri perut pada anak yang dapat berujung pada suatu kegawatdaruratan abdomen pada bagian bedah. Apendiks merupakan suatu kantong ‘buntu’ yang berasal dari caecum. Apendisitis dapat disebabkan oleh obstruksi lumen atau ulserasi pada mukosa akibat infeksi bakteri. 1,2 Diagnosis pada anak sulit, dan sekitar 30-60% kemungkinan untuk terjadi perforasi, 50% di antara kasus perforasi tersebut sebelumnya sudah menemui dokter. Resiko perforasi terbesar berada pada rentang usia 1 sampai 4 tahun (70-75%). Kesulitan dalam membedakan apendisitis dengan penyebab nyeri perut lainnya serta meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan perforasi menyebabkan apendisitis merupakan masalah penting bagi seorang klinisi. Lebih dari setengah dari semua pasien pediatri dengan apendisitis terlambat didiagnosa dan perforasi sudah terjadi yang meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. Konsultasi dini dengan ahli bedah atau penggunaan media imaging seperti CT Scan, ultrasonografi, dan laparaskopi dapat menurunkan insidensi perforasi pada kasus-kasus yang meragukan. 3,4 Diagnosis apendisitis baik pada dewasa amupun anak-anak didapat dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, namun pada anak-anak sulit dilakukan. Angka kejadian misdiagnosis berkisar 28 sampai 57% pada anak dibawah usia 12 tahun, dan hampir 100% pada anak di bawah usia 2 tahun. Diagnosis dini apendisitis pada bayi dan anak-anak dapat mencegah perforasi, pembentukan abses, komplikasi postoperasi, dan mengurangi pengeluaran biaya rumah sakit. 5,6

TINJAUAN PUSTAKA
  2.1. Definisi Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks. Peradangan ini pada umumnya disebabkan oleh infeksi yang akan menyumbat apendiks. Apendisitis akut adalah keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. 11   2.2. Epidemiologi Apendisitis merupakan kelainan abdomen pada bagian bedah yang paling umum ditemukan pada anak-anak berusia 2 tahun ke atas. Apendisitis terdiagnosa hanya 1% sampai 8% dari seluruh pasien anak-anak yang datang ke instalsi gawat darurat. Angka kejadian terbesar berada pada rentang usia 6-10 tahun. Di Amerika Serikat angka insidensi berkisar 1 sampai 2 kasus per 10.000 anak pertahun pada usia 0-4 tahun, 4 kasus per 1000 anak pada usia 6-10 tahun, dan pada usia 10-17 tahun berkisar 25 kasus per 10.000 anak pertahun. Resiko perforasi sekitar 17-40%, dan makin meningkat pada anak yang lebih muda yaitu 50-85%. Angka mortalitas pada anak-anak berkisar 0,1-1%. Apendisitis pada bayi sangat jarang, diagnosa ditegakkan jika sudah terjadi perforasi. 1,6 2.3. Anatomi. Apendiks adalah suatu kantong yang terbentuk dari cecum dan terletak di inferior iloececal junction. Secara embriologi apendiks dan cecum berkembang dari midgut pada minggu ke-6 kehamilan, sekitar pada bulan ke-5 apendiks terbentuk memanjang dari cecum. Pada neonatus panjangnya sekitar 4,5 cm, pada dewasa 9,5 cm, dengan diameter dinding terluar 2-8 mm dan diameter lumen 1-3 mm. Pada neonatus dan bayi bentuknya seperti kerucut, sehingga memperkecil kemungkinan obstruksi, semakin bertambah usia bentuknya akan berubah menjadi seperti tabung. Ujung dari apendiks biasanya terletak pada kuadran kanan bawah rongga pelvis, namun dapat juga bervariasi. 7 Pada 65% kasus apendiks terletak intra peritoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks untuk bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum, dibelakang kolon asendens atau ditepi lateral kolon asenden. Gejala klinik apendiks ditentukan oleh letak apendiks. 3,12 Apendiks mempunyai lapisan muskulus 2 lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus caekum, sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal yang dibentuk oleh fusi dari 3 tenia koli di perbatasan antara caekum dan apendiks.12 Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvic (21%), Patileal(5%), Paracaecal (2%), subcaecal(1,5%) dan preleal (1%).12 Persarafan apendiks berupa simpatis dan parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang N.vagus yang berasal dari pleksus mesenterika superior yang mengikuti A.mesenterika superior dan A.apendikularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari N.torakalis X oleh karena itu nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus. 11,12. Perdarahan apendiks berasal dari A.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat misalnya trombosis pada infeksi maka apendiks akan mengalami gangren. Apendiks memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju ke nodus limfe ileocaecal.11,12
Gambar 2.1 Anatomi Apendiks

2.4. Patofisiologi Fungsi apendiks sampai saat ini masih belum jelas, walaupun jaringan limfe dan sekresi imunoglobulin yang terdapat pada apiendiks berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Epitel apendiks adalah kelanjutan dari epitel kolon, tetapi pada apendiks terdapat folikel limfoid pada submukosa. Hiperplasia folikel limfoid ini terjadi sampai batas maksimal pada usia remaja, hal ini berhubungan dengan kejadian apendisitis. 6 Apendisitis terjadi akibat sumbatan lumen yang dikarenakan hiperplasia folikel limfoid, massa feses, benda asing, atau parasit, dapat juga karena ulserasi pada mukosa dengan infeksi bakteri. Pada saat terjadi sumbatan lumen, sel-sel epitel akan mensekresi mukus terus-menerus, menyebabkan distensi apendiks dan menghambat aliran limfe, vena, arteri, dan terjadi udem, sehingga memudahkan invasi bakteri. Jika terapi pembedahan terlambat, akan terjadi perforasi apendiks, pus akan mengalir ke ruang peritonium, menyebabkan peritonitis difus dan pembentukan abses. Setidaknnya 3 sampai 10 bekteri berbeda dapat ditemukan dalam cairan peritonium, jenis yang paling sering dijumpai yaitu Escherichia coli, Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus, dan Pseudomunas. Pada orang dewasa ukuran dari omentum cukup besar sehingga dapat mencegah pus masuk ke rongga peritonium, jadi hanya terbentuk abses, sedangkan pada anak-anak omentum belum tumbuh sempurna, sehingga pus mudah memasuki peritonium. 1,6 2.5. Gejala Klinis 1,2,3,6 Gejala klasik apendisitis yang pertama adalah nyeri di daerah paraumbilikus yang diikuti mual, nyeri perut kanan bawah, dan muntah disertai demam pada tahap lanjut. Namun gejala ini hanya ditemukan pada 50% pasien dewasa, dan sangat sedikit pada anak-anak. Kebanyakan gejala klinis dari apendisitis adalah tergantung umur, pengetahuan tentang gejala klinis tersebut akan lebih menunjang akurasi diagnosa.
  1. Neonatus
Lebih dari 120 kasus apendisitis pada neonatus yang sudah pernah dilaporkan. Pada rentang usia ini, angka mortalitas berkisa 80%, dan terdiagnosa saat autopsi. Kebanyakan kasus terjadi pada bayi prematur, penyebabnya antara lain penyakit Hirscsprung, emboli akibat anomali jantung, NEC (necrotizing enterocolitis) atau infark mesenterium. Gejala klinis yang dijumpai umumnya tidak spesifik, seperti letargi (22%), distensi abdomen (60-90%), muntah (59%), selulitis dinding abdomen (12-16%), dan gejala-gejala lain seperti hipotensi, hipotermi, dan distres pernafasan.
  1. Bayi kurang dari 2 tahun
Pada usia 9 sampai 12 bulan, secara anatomi bentuk apendiks menyerupai corong, sehingga memperkecil kemungkinan obstruksi, selain itu jenis makanan yang lunak, dan jaringan limfoid yang sedikit menurunkan angka kejadian apendisitis. Gejala klinis yang sering dijumpai antara lain muntah (85-90%), nyeri abdomen (35-77%), diare (18-46%), dan demam >37°C (87-100%), tanda-tanda lainnya iritabilitas (35-40%), nafas mendengkur (8-23%), batuk atau rinitis (40%), distensi abdomen (30-52%), dan kekakuan dinding abdomen (23%). Oleh karena gejala klinis yang tidak spesifik ini, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis setelah timbul gejala adalah 4 hari. Diagnosis yang terlambat dapat menyebabkan perforasi (82-92%), dan obstruksi usus (>82%).
  1. Prasekolah (2-5 tahun)
Pada usia ini anak sudah bisa berbicara, sehingga dapat menunjang diagnosis lebih awal. Kejadian apendisitis pada usia ini sangat jarang, dengan insidensi <5% dari semua apendisitis pediatrik. Gejala klinis yang dapat ditemukan seperti nyeri perut (80-100%), muntah (66-100%), demam (80-87%), dan anoreksia (53-60%).
  1. Usia 6-12 tahun
Pada anak usia sekolah, insidensi apendisitis meningkat dan anamnesa dan pemeriksaan fisik lebih reliabel. Anak yang lebih tua dapat mendeskripsikan onset dari nyeri serta perpindahan nyeri ke kuadran kanan bawah. Gejala klinis yang didapat di antaranya nyeri perut bertambah dengan pergerakan (41-75%), nyeri perut kanan bawah bertambah dengan batuk (95%), muntah (68-95%), mual (36-90%), anoreksia (47-75%), diare (9-16%), demam (63%), dan konstipasi (5-28%). Hampir semua anak pada usia ini mengeluh nyeri perut kanan bawah, tetapi nyeri juga dapat terjadi pada seluruh perut bagian bawah, bisa juga difus walaupun tanpa perforasi (15%). Bising usus biasanya meningkat (93%) dan menurun (7%). Belum ada penelitian yang detail tentang sensitifitas atau spesifisitas tanda psoas, obturator, dan Rovsing dalam diagnosis apendisitis pediatrik. Pemeriksaan colok dubur masih kontroversi dalam diagnosa apendisitis. Pada anak yang lebih tua dan pada dewasa, dapat ditemukan nyeri tekan pada colok dubur, tapi dapat juga tidak. Jika dibandingkan antara apendisitis yang perforasi dengan yang tidak, maka peforasi terjadi pada anak yang lebih muda, dengan gejala yang sudah lama, demam dengan suhu lebih tinggi, muntah hebat, nyeri perut menyeluruh, dan ditemukan tanda rangsangan peritonium. Perforasi biasanya terjadi dalam 36-48 jam setelah onset gejala, dengan insidensi 7% dalam 24 jam, 38% dalam 48 jam, dan 98% lebih dari 48 jam.
  1. Usia lebih dari 13 tahun
Insidensi apendisitis mencapai puncak pada usia remaja lanjut dan dewasa. Anamnesa dan pemeriksaan fisik lebih reliabel pada usia ini, khususnya pada laki-laki, sedangkan pada wanita kelainan di dalam rongga pelvis sering membingungkan dengan apendisitis seperti kista ovarium dan PID (pelvic inflamatory disease).   2.6. Pemeriksaan Laboratorium 1,6 Pemeriksaan laboratorium dapat meningkatkan kecurigaan apendisitis, tapi bukan untuk diagnosis pasti. Pada pemeriksaan darah rutin jumlah leukosit meningkat pada 70-90% kasus apendisitis, namun juga dapat meningkat pada kondisi lainnya. Jika jumlah leukosit >15.000/mm kemungkinan besar sudah terjadi perforasi. Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk melihat kemungkinan infeksi saluran kemih dan batu. C-reactive protein (CRP) merupakan mediator nonspesifik. Tes ini dilaporkan mempunyai sensitivitas 43-92% dan spesifisitas 33-95% untnk apendisitis pada anak dengan nyeri abdomen akut.   2.7. Pemeriksaan Radiologi 1,6,8,9 1. Roentgent Abdomen Roentgent abdomen jarang membantu menegakkan diagnosis apendisitis. Banyak kasus apendisitis ditemukan gambaran radiologis yang normal. Tanda-tanda yang dapat ditemukan seperti gambaran psos line kanan yang kabur, air-fluid level pada perut kuadran kanan bawah, dan gambaran udara pada apendiks.   2. Ultrasonografi USG merupakan salah satu pilihan untuk mengevaluasi apendisitis pada anak. Keuntungan dari USG adalah noninvasif, radiasi minimal, tidak menggunakan kontras, dan nyeri minimal. USG juga dapat digunakan melihat kelainan lain seperti abses tuba dan ovarium, kista ovarium, dan adenitis mesenterika. Kelemahan dari USG adalah operator dependent, tergantung pengalaman dan keahlian operator. Beberapa tanda yang dapat dijumpai pada USG :
  1. Dilatasi apendiks
  2. Pada perforasi ditemukan formasi abses.
  3. Tanda lainnya ada cairan di lumen apendiks, dan diameter transversum apendiks > 6mm.
Pemeriksaan USG juga dapat mendiagnosa kelainan lainnya seperti abses tuba ovarium, kista ovarium, dan adenitis mesenterika. 3. CT Scan CT Scan lebih sering digunakan untuk mendiagnosis apendisitis pada dewasa, pada anak-anak kegunaan CT Scan terbatas. CT scan berguna jika pada pemeriksaan USG terlihat samar-samar. Dalam penelitian yang dilakukan Antonia et al (2003) menyatakan pemeriksaan CT scan tidak meningkatkan akurasi diagnosis dibandingkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Jika ada kecurigaan yang tinggi terhadap apendisitis, hasil CT scan yang negatif tidak bisa menyingkirkan diagnosis. Tetapi pada pasien yang meragukan, CT scan merupakan pemeriksaan yang sensitif.   2.8. Scoring System 9 1. Sistem skoring yang diajukan oleh Kharbanda et al. Sistem ini ada 6 bagian yang dinilai yaitu mual (2 poin), nyeri perut kanan bawah (2 poin), nyeri yang berpindah (1 poin), kesulitan berjalan (1 poin), nyeri pada saat perkusi (2 poin), dan hitung jenis neutrofil >6,75 x 103/µL (6 poin). Jika skor lebih atau sama dengan 5 mempunyai tingkat sensitifitas 96,3%. 2. Samuel skor (Pediatric Appendicitis Score) Sistem ini berdasarkan 8 variabel yaitu nyeri yang berpindah ke perut kanan bawah, anoreksia, mual dan muntah, nyeri perut kanan bawah saat batuk, melompat, maupun pada perkusi, suhu badan meningkat, leukositosis, dan hitung jenis shift to the left. Sistem ini merekomendasikan jika skor ≤ 5 dilakukan observasi, jika ≥ 6 harus dilakukan konsultasi ke ahli bedah. 3. Alvarado atau skor MANTRELS Skor MANTRELS adalah sebuah tes sederhana yang digunakan dalam mendiagnosis apendisitis. Dua penelitian tentang skor MANTRELS pada anak menyatakan skor >7 memiliki sensitivitas 88-90% dan spesifisitas 72-81% pada kasus apendisitis. Tiga penelitian lainnya menyatakan skor >7 sensitif 76-90% dan spesifisitas 50-81%. Para peneliti dari 5 penelitian ini berkesimpulan MANTRELS tidak akurat dalam membedakan anak dengan apendisitis dan yang tidak apendisitis.  
Tabel 1. MANTRELS Score 6
Feature
Points
Migration of pain from central area to RLQ
1
Anorexia or Acetonuria
1
Nausea with vomiting
1
Tenderness in RLQ
2
Rebound tenderness
1
Elevated temperature ≥ 38°C
1
Leukocytosis (>10.400/mm3)
2
Shifted WBC count (>75% neutrophils)
1
Total possible points
10
   
2.9. Penatalaksanaan 1,6,9 Membuat diagnosis yang tepat dalam waktu yang singkat cukup sulit pada pasien dengan nyeri abdomen. Namun, pengklasifikasian berikut dapat membantu dalam penatalaksaan.
  1. Tidak ditemukan kecurigaan apendisitis.
Pada kelompok ini termasuk pasien yang dari anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda apendisitis maupun proses signifikan lainnya. Melakukan pemeriksaan fisik lengkap termasuk colok dubur dan urinalisis sebelum penatalaksanaan adalah penting.
  1. Ditemukan tanda klasik apendisitis
Pasien dengan tanda klasik apendisitis membutuhkan konsultasi pembedahan yang cepat. Pasien dipuasakan dan dilakukan pemberian cairan intravena untuk mengembalikan volume intravaskular dan mencukupi kebutuhan cairan yang adekuat. Terapi antibiotik penting jika terjadi ruptur apendiks. Gunakan antibiotik yang efektif melawan bakteri Gram negatif dan anaerobik seperti Escherichia coli, Bacteroides sp. Untuk pasien yang nonperforasi penggunaan antibiotik sebaiknya didiskusikan dengan ahli bedah.
  1. Tanda-tanda apendisitis kurang jelas.
Pada pasien ini mungkin anamnesa untuk apendisitis sudah jelas namun pemeriksaan fisik tidak menunjang diagnosis. Pada kelompok ini pemeriksaan laboratorium dan radiografi dapat membantu. Pemeriksaan fisik secara serial sejalan dengan hasil laboratorium dapat mengklarifikasi diagnosis. Reevaluasi pasien beberapa jam untuk menentukan apakah perlu konsultasi ahli bedah. Jika tetap tidak pasti setelah observasi segera lakukan konsultasi dengan ahli bedah. Pemeriksaan USG mungkin dapat membantu jika diagnosis samar-samar.
  1. Medikamentosa
    1. Antibiotik
Antibiotik diberikan preoperatif pada anak dengan suspek apendisitis dan dihentikan setelah pembedahan jika tanda-tanda perforasi tidak ada. Terapi kombinasi antibiotik seperti ampisilin, klindamisin, dan gentamisin diberikan untuk mengobati infeksi bakteri aerob dan anaerob seperi Escherichia coli, Bacteroides, Klebsiella, Enterococci, dan Pseudomonas. Antibiotik alternatif lain yang dapat diberikan seperti sulbaktam, cefoxitin, cefotetan, piperasilin, tazobaktam, tikarsilin, klavulanat, imipenem, dan cilastatin. 9
  1. Analgetik
Penatalaksanaan nyeri merupakan topik yang masih diperdebatkan oleh ahli bedah. Banyak pilihan golongan analgetik yang sudah terbukti aman dan efektif untuk mengatasi nyeri preoperatif pada pasien pediatrik. Beberapa obat-obatan yang dapat diberikan seperti ketorolac, morfin sulfat, dan fentanil sitrat.  
  1. Terapi pembedahan.
  1. Apendiktomi
Apendiktomi merupakan terapi definitif untuk apendisitis, yang mempunyai angka positif palsu sekitar 10-20%, mengingat kesulitan dalam mendiagnosis pada anak.
  1. Laparaskopi
Kegunaan apendiktomi laparaskopi merupakan salah satu metode operasi yang dapat digunakan, keuntungannya adalah mengurangi nyeri postoperasi dan luka yang kecil, sedangkan kekurangannya adalah waktu operasi yang lebih lama dan biaya yang lebih besar. Jika tidak terjadi ruptur apendiks, masa pemulihan biasanya cepat, dan pasien dapat meninggalkan rumah sakit dalam 1-2 hari setelah pembedahan. Kebanyakan dari mereka dapat kembali beraktifitas normal dalam 2-3 minggu. Jika terjadi ruptur, proses pemulihan memakan waktu lebih lama. 10  

KESIMPULAN DAN SARAN
  3.1 Kesimpulan
  1. Diagnosis apendisitis pada anak cukup sulit, diagnosis yang terlambat dapat menyebabkan komplikasi yang serius.
  2. Beberapa sistem skoring dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut pada anak.
  3. Jika ada kecurigaan kuat adanya apendisitis sebaiknya segera dikonsultasikan dengan ahli bedah.
  4. Terapi suportif pada apendisitis anak dapat diberikan antibiotik dan analgetik, sedangkan terapi definitifnya adalah pembedahan.
  5. Prognosa pada apendisitis tanpa perforasi adalah baik.
3.2 Saran
  1. Perlunya anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tajam dan lengkap untuk mendiagnosa apendisitis pada anak.
   
DAFTAR PUSTAKA
 
  1. Tucker Jeffery. 2004. Appendicitis. http:// www.emedicine.com/ped/topic127 [Diakses 14 Juni 2009]
  2. Sadovsky, Richard. 2001. Diagnosis Of Acute Appendicitis In Children. http://www.aafp.org/afp/20010115/tips/8. [Diakses 15 Juni 2009].
  3. Richard E et al. Nelson Textbook Of Pediatrics 17th Edition. Philadelphia : Saunders. 2004. Chapter 324
  4. Sola JE, Mc Bride W, Rachadell J. Current Diagnosis And Management of Appendicitis in Children. Miami : University of Miami. 2000. Volume 15
  5. Stephen et al. The Diagnosis of Acute Appendicitis in A Pediatric Population : To CT or Not To CT. Massacussetts : Depertment of Pediatric Surgery Massacussetts General Hospital. 2003. Volume 38.
  6. Rothrock SG, Pagame J. Acute Appendicitis in Children : Emergency Department Diagnosis and Management. Orlando : Department of Emergency Medicine, Orlando Regional Medical Centre. 2000. 39-47.
  7. Zinner MJ, Ashley SW. Maingot’s Abdominal Operation 11th Edition. The McGraw-Hill’s Companies : 2007. Chapter 21.
  8. Stephen et al. The Diagnosis of Acute Appendicitis in A Pediatric Population : To CT or Not To CT. Massacussetts : Depertment of Pediatric Surgery Massacussetts General Hospital. 2003. Volume 38.
  9. Hennelly KE, Bachur RG. 2009. Pediatrics, Appendicitis : Treatment & Medication. http://emedicine.medscape.com/article/799858-treatment. [Diakses 22 Mei 2009]
  10. Zeller et al. 2007. Acute Appendicitis In Children. http://jama.ama-assn.org/482.htm [Diakses 22 Mei 2009].
  11. Hamami, AH, dkk. Usus Halus Apendiks, Kolon, dan anorektum dalam Sjamsuhidajat R, De Jong W, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi revisi, EGC, Jakarta, 1997. 865-75
  1. Stevenson RJ. Appendicitis. In: Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister G, Siegel NJ editors.

0 comments