Creeping eruption, cutaneous larva migrans, cacing di kulit
2.1 Definisi
Creeping eruption adalah kelainan kulit
yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan
progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang bermigrasi di dalam
kulit.2
2.2 Epidemiologi
Penyakit
ini terdapat di seluruh daerah tropis, subtropis, yang memiliki suhu hangat dan
lembab misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, di Eropa Utara selama
musim panas, dan juga termasuk Indonesia.2,7 Creeping eruption cenderung terjadi pada anak-anak, petani, tukang
kebun, dan orang-orang yang sering berenang di laut.7,8
2.3 Etiologi
Penyebab
utama creeping eruption adalah larva
cacing tambang pada binatang anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma
caninum.2 Ancylostoma
braziliense merupakan penyebab terbanyak di Amerika Selatan, Amerika
Serikat dan berbagai daerah tropis lainnya.7 Di Asia Timur umumnya
disebabkan oleh gnatostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Strongyloides sterconalis,
Dermatobia maxiales dan Lucilia
caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis
lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly. 2
Nematoda
atau cacing dewasa hidup pada hospes, yaitu pada anjing atau kucing. Telur
cacing dikeluarkan bersama dengan kotoran binatang, karena kelembaban akan
menetas menjadi larva rabditiform, selanjutnya akan berubah menjadi larva
filariform yang mampu mengadakan penetrasi ke kulit.2,6
Gambar
2.1 Siklus hidup Ancylostoma spp.9
2.4 Patogenesis
Penularan
terjadi karena individu kontak dengan tanah lembab yang terkontaminasi kotoran
anjing, atau kucing yang telah mengandung larva cacing tersebut. Larva
mengadakan penetrasi ke kulit manusia. Keadaan ini dapat menetap selama
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan atau langsung menjalar dan menimbulkan
garis seperti benang yang berjalan, dan agak meninggi.7 Larva ini
tinggal di kulit dan bermigrasi sepanjang dermoepidermal, setelah beberapa jam
atau hari akan timbul gejala kulit.2 Larva ini tidak dapat
mengadakan penetrasi ke dermis manusia, maka tidak dapat terjadi siklus hidup
yang normal. Manusia merupakan hospes yang tidak tepat bagi larva tersebut,
sehingga larva akhirnya akan mati. Pada hospes binatang yang tepat, siklus
hidup larva tersebut mirip dengan siklus hidup cacing tambang pada manusia. Biasanya
larva ini merupakan stadium ketiga dari siklus hidupnya.6
Gambar
2.2 Larva dalam kulit10
2.5 Gejala
Klinis
Masuknya
larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan timbul
papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi bebentuk linear atau
berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2–3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya
lesi berupa papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah
berada dikulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya papul
merah ini akan menjalar seperti benang, berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa,
menimbul dan membentuk terowongan (burrow),
mencapai panjang beberapa sentimeter.2 Lesi yang lama akan mengering
membentuk krusta. Sejumlah besar larva dapat aktif pada saat yang sama dengan
disertai pembentukan serangkaian lesi yang berputar-putar dan berliku-liku.7
Larva
bergerak sepanjang beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter dalam sehari,
dan berada di bagian depan lesi. Migrasi larva biasanya terbatas pada daerah
yang relatif kecil, tapi kadang dapat bermigrasi lebih jauh . Sepanjang garis
lesi sering terdapat vesikula, dan rasa gatal. 7
Migrasi
akan berhenti setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyakit ini bersifat
self limiting karena manusia
merupakan hospes terakhir sampai larva tersebut akhirnya mati. Perkiraan
mengenai lamanya penyakit secara alamiah sangat bervariasi, tergantung spesies
larva, tetapi umumnya tidak diketahui. Beberapa lesi menetap selama beberapa
bulan. 7
Tempat
predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong dan paha, juga di bagian
tubuh dimana saja sering kontak dengan tanah tempat larva berada.2
2.6 Diagnosis
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan bentuk kelainan yang khas, yakni terdapatnya kelainan
seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, kemerahan, menimbul dan terdapat papul atau vesikel di atasnya.2
Dengan biopsi biasanya kurang mempunyai arti karena larva sulit ditemukan.7
Pada pemeriksaan darah kadang dapat terjadi hipereosinofilia atau peningkatan
imunoglobulin E.3
Gambar 2.3 Creeping eruption
pada kaki
Gambar 2.4 Creeping eruption pada bokong
2.7
Diagnosis Banding
Gejala
klinis creeping eruption dapat
didiagnosis banding dengan beberapa penyakit dibawah ini :
1. Skabies
Merupakan penyakit kulit yang
disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var, hominis dan produknya. Terowongan pada skabies
dapat menyerupai terowongan pada creeping
eruption. Tetapi terowongan yang terbentuk pada skabies berbentuk garis
lurus, sedangkan pada creeping eruption
berkelok-kelok dan lebih panjang.2 Tempat predileksinya biasanya
pada tempat dengan stratum korneum yang tipis yaitu sela-sela jari tangan,
pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan,
areola mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut
bagian bawah.12
2. Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah penyakit
pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada
epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.
Dermatofitosis dapat mengenai seluruh bagian tubuh, dengan gejala klinis gatal,
kelainan berbatas tegas, terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit
(polimorf), bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan)
daripada bagian tengah.14 Dermatofitosis dapat menyerupai creeping eruption dari bentuk
polisikliknya.2
3. Insects bite
Insects
bite merupakan lesi yang
disebabkan oleh sengatan atau gigitan serangga. Gejala klinis berupa reaksi
inflamasi lokal seperti eritem, edem setempat, urtika kemudian dapat menjadi
papul, vesikel dan pustula steril.16 Lesi awal pada creeping eruption yang berupa papul
sering diduga sebagai insects bite.2
4. Herpes zoster
Herpes zoster merupakan penyakit
yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan
mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi
primer. Gejala klinis biasanya diawali oleh gejala prodromal. Setelah itu
timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel berkelompok dengan
dasar kulit yang eritematous dan edem.18 Bila invasi larva pada creeping eruption terjadi secara
multipel dan serentak, papul-papul pada lesi dini dapat menyerupai herpes
zoster.2
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada Creeping eruption antara lain:
a. Infeksi sekunder
Adanya rasa gatal di sepanjang
lesi menyebabkan penggarukan yang mengakibatkan terjadinya infeksi sekunder.7
Biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pyogenes. Dapat diobati dengan antibiotik topikal. 20
b. Sindrom Loeffler
Merupakan suatu gangguan pada
sistem respirasi sementara yang disebabkan oleh infeksi larva cacing, ditandai
dengan batuk, dispnea, demam, eosinofilia, dan adanya gambaran infiltrat di
paru-paru pada pemeriksaan rontgen torak. Biasanya
terjadi pada infestasi yang berat, atau pada creeping eruption yang disebabkan oleh larva cacing Strongyloides sterconalis. Bersifat self limited, gejala akan menghilang
dalam 3-4 minggu. 7, 21
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Penatalaksanaan umum
Beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
a. Sebaiknya masyarakat di daerah
endemis meningkatkan kebersihan lingkungan. 20
b. Menggunakan alas kaki untuk
mencegah penetrasi larva ke dalam kulit. 20
c. Tidak membiarkan anjing atau
kucing berkeliaran dan memberikan pengobatan pada binatang yang terinfeksi
cacing tambang, yaitu dengan pemberian antelmintik seperti fenbendazol, dan
ivermektin. 5,22
2.9.2 Penatalaksanaan khusus
a.
Pengobatan sistemik
Pengobatan
secara sistemik diberikan untuk lesi yang luas atau yang gagal dengan
pengobatan secara topikal. Creeping
eruption dapat diobati dengan antelmintik secara oral. 20Beberapa antelmintik yang
efektif untuk mengobati Creeping eruption
antara lain :
1.Tiabendazol (Mintezol)
Merupakan drugs of choice (DOC) untuk
Creeping eruption. Bekerja dengan menghambat enzim fumarat reduktase larva, dan
menghambat ambilan glukosa oleh larva sehingga menyebabkan kematian larva.
20
Dosis
yang dianjurkan untuk dewasa adalah 25-50 mg/kgBB/ hari dua kali sehari, selama
2-5 hari. Untuk anak-anak diberikan 25-50 mg/kgBB/hari dua kali sehari, maksimal
3 gram sehari. 20 Bila masih ditemukan lesi aktif, selang dua hari
kemudian dapat diberikan lagi satu kuur pengobatan.23
Obat
ini kontra indikasi untuk anak-anak dengan berat badan kurang dari 15 kg,
gangguan fungsi hati atau ginjal dan pasien yang hipersensitif. Efek samping
yang ditimbulkan dapat berupa anoreksia, mual, muntah, diare, sakit kepala,
nyeri epigastrium dan rasa kantuk. 23
Tiabendazol
tersedia dalam bentuk sediaan tablet 500 mg dan sirup berisi 100 mg/ml, tapi
sulit didapat kan dipasaran. 23
2. Albendazol
Merupakan
antelmintik berspetrum luas yang bekerja dengan cara memblokir pengambilan
glukosa oleh larva, sehingga glikogen menurun dan pembentukan ATP berkurang,
akibatnya larva akan mati. 23
Albendazol
tersedia dalam bentuk sediaan tablet 400 mg dan suspensi 200 mg/5 ml. Diberikan
dengan dosis 400 mg peroral selama 3 hari berturut-turut untuk dewasa dan
anak-anak usia di atas 2 tahun. Untuk anak-anak usia di bawah 2 tahun diberikan
200 mg/hari selama 3 hari. 20
Efek
samping yang ditimbulkan antara lain nyeri ulu hati, diare, sakit kepala, mual,
lemah, insomnia, dan dizzines. Albendazol tidak dianjurkan untuk wanita hamil,
penderita serosis dan hipersensitif. 23
3. Ivermektin
Merupakan
antelmintik yang menyebabkan larva mati dalam keadaan paralisis, bekerja dengan
cara memperkuat peranan GABA pada proses saraf tepi. Memiliki margin of safety yang lebar dan
toksisitas yang rendah. 23
Dosis
yang digunakan untuk dewasa dan anak-anak usia lebih dari 5 tahun adalah 200
mcg/kgBB peroral satu kali pemberian, sedangkan untuk anak-anak usia di bawah 5
tahun diberikan dengan dosis 150 mcg/kgBB peroral satu kali pemberian. 20
Efek
samping yang ditimbulkan umumnya ringan, sebentar dan dapat ditolerir. Biasanya
berupa demam, pruritus, sakit kepala, nyeri di kelenjar limfe, sakit otot dan
sakit sendi. 23
Obat
ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil, dan jangan diberikan bersama-sama
dengan barbiturat, benzodiazepin, dan asam valproat. 23
b.
Pengobatan Topikal
1. Tiabendazol topikal 10-15%
Diaplikasikan
4 kali sehari selama 1 minggu. Obat ini perlu diaplikasikan di sepanjang lesi
dan pada kulit normal di sekitar lesi. 2
2. Solusio tiobendazol 2% dalam DMSO (dimetil
sulfoksida) 2
3. Tiabendazol topikal ditambah kortikosteroid
topikal
Digunakan secara oklusi dalam 24-48 jam. 2
4. Dry ice
(CO2 snow)
Dilakukan
dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dilakukan selama dua hari
berturut-turut. 2
5. Etil klorida
Terapi ini efektif apabila epidermis
terkelupas bersama parasit. Seluruh terowongan harus dibekukan karena parasit
diperkirakan berada dalam terowongan. Cara ini bersifat traumatik dan hasilnya
kurang dapat dipercaya karena lokasi tempat larva berada sulit ditentukan.2,24
2.10 Prognosis
Prognosis
baik karena bersifat self limiting
disease. Manusia merupakan hospes terakhir sampai larva tersebut akhirnya
mati. Lesi akan sembuh dalam 4-8 minggu,
dan jarang sekali dapat berlangsung selama 1 tahun.20
DAFTAR PUSTAKA
1. Turtington CA.Cutaneous larva
migrans ; http://www.healthline.com
[diakses 31 mei 2008]
2. Aisah S. Creeping eruption. Dalam
: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2002. 125-6.
3. Albanes G, Venturi C, Galbiati G. Treatment of Larva Migrans Cuanea (Creeping eruption): a Comparison between
Albendazole and Traditional Therapy. International Jornal of Dermatology. 2001.
67-71.
4. Yamaguci T. Helminthes. Dalam : Handojo M, Anugerah P, editor. Atlas berwarna parasitologi klinik. Jakarta : EGC,
1994.180.
5. Garcia LS, Bruckner DA.Cutaneous
larva migrans. Dalam : Padmasutra L, editor. Diagnostik parasitologi kedokteran. Jakarta : EGC, 1996. 170-1.
6. Margono SS, Abidin SAN.
Ancylostoma braziliense dan ancylostoma caninum. Dalam Gandahusada S, Illahude
HHD, Pribadi W, editor. Parasitologi kedokteran, edisi 3. Jakarta : Balai
penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003.15-6.
7. Maskur Z. Ruam menjalar. Dalam : Harahap M, editor. Ilmu penyakit kulit.
Jakarta : Hipokrates, 2000. 106-7.
8. Weller PF. Larva migrans cutaneous. Dalam : Asdie AH, editor. Harrison
prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam volume 2, edisi 13. Jakarta : EGC,
1999.1036.
9. Johnson MT. The Major Human
Parasitic Nematodes ; http://web.indstad.edu/parasitologi/NEMAT.HTM
[diakses 4 Juni 2008]
10. Veien NK, Nielsen M. Atlas of
Dermatology ; http://www.danderm-pdv.is
[diakses 30 mei 2008].
11. Fajarqimi. Cutaneous Larva Migrans ; http://fajarqimi.com
[diakses 4 Juni 2008].
12. Handoko RP. Skabies. Dalam : Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002. 122-5.
13. Adams K. Scabies Infestasion ; http://whatsthatbug.com/scabies.html
[diakses 4 Juni 2008].
14. Budimulja U. Mikosis. Dalam : Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002. 89-105.
15. William G. Hygiene Virus, Bacteria
and Paracites ; http://scientificpsychic.com
[diakses 4 Juni 2008]
16. Maskur Z. Gigitan dan Sengatan Serangga.. Dalam : Harahap M, editor.
Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates, 2000. 113-5.
17. Raigosabe. Insect Bite Reaction ; http://www.dermatlas.med.com [diakses
4 Juni 2008]
18. Handoko RP. Herpes Zoster. Dalam Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002. 110-2.
19. Sampurna R. Herpes Zoster ; http://www.histopathology.india.net-herpeszoster.htm
[diakses 4 Juni 2008]
20. Juzych LA. Cutaneous larva migrans ; http://www.emedicine.com
[diakses 30 mei 2008]
21. Talmaciu I. Loeffler Syndrome; http://www.emedicine.com [diakses 30 mei
2008]
22. Holton K, Pepper D. Prevention of Zoonotic Transmission of Ascaris
and Hookworms of Dogs and Cats; http://www.cdc.gov [diakses 30 mei 2008]
23.Sukarban S, Santoso SO. Antelmintik. Dalam Ganiswarna SG, editor.
Farmakologi dan Terapi, edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2003. 523-536.
24. Paller AS, Mancini AJ. Cutaneous larva migrans. Hurwitz clinical
pediatric dermatologi, edisi 3. Chicago : Elsevier, 2006.496-497